Jumat, 11 Maret 2016

Karang dan Samudera : Kamu Siapa?

0

Karang dan Samudra : Kamu Siapa?

Pernah tidak, dalam sekali hidup ini, merasakan beban seperti bertumpuk, tugas seperti tidak selesai - selesai. Di sisi lain, teman seperti tidak tahu apa yang kita rasakan. Maunya kita, susah senang ditanggung bersama. Realitanya, beban seperti milik sendiri, tugas seperti tidak mau berbagi.

Ah, pernah tidak, merasa paling berkontribusi, paling berperan ketimbang yang lain. Kemudian, dongkol pun merajalela, meradang tidak mengenal usia. Merasa tidak dihargai. Merasa tidak diapresiasi. Endingnya, tentu saja bermacam - macam. Ada yang bertahan, mencoba bangkit, atau justru pergi, kabur entah kemana jejak melaju.


Hidup memang kadang begitu. Hingga kita merasa lebih sering merana, ketimbang bahagia. Lebih sering dicampakkan daripada diperhatikan.

Tapi, di sepersekian detik umur ini, pernah tidak, sedikit merenung sejenak, tentang perjuangan Bapak, perjuangan Mama, bukan hanya berjuang mencukupi materi kita, yang lebih penting adalah tentang membekali kita dengan ilmu, ilmu agama sebagai petunjuk hidup, dan ilmu umum sebagai penyelarasnya.

Lihat Bapak, sepulangnya berdagang hanya melepas lelah sebentar, mungkin itu hanya formalitas, atau bahkan sebuah pembelajaran tersirat untuk kita bahwa tidak baik menuntut tubuh untuk terus bergerak, ada masanya tubuh kita juga butuh relaksasi. Setelah itu, kerja - kerja masih menanti untuk diselesaikan, tentu kita masih ingat ketika Bapak menjemput kita di sekolah masih dengan pakaian yang sama dengan yang dikenakannya saat berangkat berdagang, tentu kita masih ingat sesampainya di rumah Bapak tidak langsung turun dari motor dan masuk ke rumah bersama kita, tapi pamit kembali melakukan kerja - kerja lain untuk kebaikan orang banyak.

Lihat Mama, selepas aktivitas seharian yang bahkan kadang kita jarang tahu apa sebenarnya yang dilakukannya selama kita tidak di rumah, selama kita mencari dan menggali sumber - sumber ilmu, Mama masih tetap dengan senyum merona, menyambut kita sepulang sekolah, menyiapkan segala macam makanan yang kita mau, menjadi pendengar setia cerita - cerita kita tentang hari yang baru saja kita lalui.

Dan kita, terkadang tidak mau tahu. Sebagian dari kita tidak mau mengerti.

Menelisik perjuangan mereka, masihkah kita mengeluh dengan hidup kita saat ini? Berkicau meratap dan mengutuk kelelahan - kelelahan kita selepas belajar di ruang kuliah yang dengan sangat baik hati dosen selalu membekali kita dengan tugas - tugas, kelelahan - kelelahan kita sepulang dari simulasi bermasyarakat di organisasi - organisasi yang kita ikuti, belum lagi ditambah target - target pribadi yang dirasa jadi terhambat karena tidak ada lagi waktu untuk menyelesaikannya, atau bahkan seperti kehabisan waktu untuk sekedar menata kembali buku - buku di rak dan merapikan pakaian - pakaian kering setelah dijemur.

Hidup yang sesungguhnya bukan tentang banyaknya pencapaian - pecapaian kita yang orang lain ketahui dan apresiasi. Mungkin kita masih saja mengelak keniscayaan bahwa orang lain tentu memiliki hidup yang harus mereka hidupkan pula, tidak sekedar mereka hidup sebagai figuran dalam hidup kita. Mereka, kita semua, adalah lakon utama hidup kita masing - masing. 

Bukankah setiap manusia dibekali kelebihan - kelebihan yang berbeda dan kekurangan - kekurangan yang berbeda pula? Kenapa kita tidak mencoba untuk menghargai setiap apa yang kita miliki dengan sebenar - benarnya? Kenapa kita masih menunggu penghargaan - penghargaan semu dari orang lain? Untuk apa sebenarnya hidup kita?

Kita pasti sudah hafal, bahwa di dalam kitab suci sekaligus guide book hidup kita, telah disebutkan bahwa tujuan penciptaan kita adalah untuk beribadah dengan sebaik - baiknya. Esensi ibadah terbaik tentu saja ibadah yang semata - mata karena Tuhan, semata - mata kita dedikasikan untuk mengharap limpahan kasih sayang Rabbul Izzati pemilik kehidupan.

Dengan terus menerus mengeluh, meratap, mencerca, dan mengharap orang lain untuk mengerti, sudah barangtentu mengikis sendi - sendi kebaikan amalan kita, sendi - sendi penyangga yang sering kita katakan sebagai keikhlasan. Jika penghargaan dunia yang kita nantikan, lalu dimana dan kemana ikhlas yang sering kita gaungkan?

Dan tugas kita saat ini adalah berbuat sebaik - baiknya, memperbaiki niat, mengobati hati dan jiwa kita yang sempat kita cabik - cabik dengan mimpi - mimpi duniawi.
Tugas kita saat ini  adalah menyiapkan diri dan menyegerakan menjadi manusia - manusia yang hatinya seluas samudera dan jiwanya setegar karang, agar tidak ada lagi tujuan lain dari kita berbuat selain pengharapan kepada yang Maha Memiliki dan Memberi. Kita boleh saja merasa menjadi yang 'paling', tapi konsekuensi dari semua itu adalah di ujung hari nanti.

Jika dengan tidak ikhlas saja lelah tetap terasa, mengapa tidak dengan ikhlas saja kita melakukannya, toh yang dirasa tetap sama.
Berlelah - lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang.

Mari memperbaiki.

Kuningan, 2 Jumadil Akhir 1437
                  11 Maret 2016
 Langit selepas hujan.



0 komentar:

Posting Komentar

Kawan, mohon komentar santunnya, untuk perbaikan ke depan ^^

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com